Politik “Ribet” ala Golput Idealis, Sebuah Tanggung Jawab terhadap Demokrasi (Bagian 1: Melaksanakan Pendidikan Politik)

Prolog:

Pembiaran! Itulah tuduhan yang sering diberikan pada mereka yang tidak memilih dalam pemilu. Bagi golput idealis, tuduhan ini sangat menyesakkan dada. Anggapan bahwa golput selalu berarti “tidak mau tahu nasib negara” sebenarnya bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Banyak golput yang dalam siang malamnya lebih banyak memikirkan keadaan negara ini dibandingkan mereka yang sekedar memilih dalam pemilu.

Rangkaian tulisan jelek ini, anggap saja sebagai pembelaan diri dari seorang golput idealis yang merasa “terzalimi” oleh tuduhan tersebut. Tulisan akan terbagi menjadi 3 bagian:

1. Melaksanakan Pendidikan Politik
2. Berpolitik di Luar Parlemen
3. Menuju Terwujudnya Partai Politik Idaman

Bagian 1: Melaksanakan Pendidikan Politik

Kenyataan yang aku lihat di kampungku, masyarakat memilih seorang calon bukan karena mengetahui program kerja partai maupun visi dari caleg. Pilihan biasanya dijatuhkan pada calon yang paling banyak mengenalkan diri melalui “bantuan sosial” pada warga. Ini terjadi bukan hanya di pemilu 2014. Pemilu 2009 serta beberapa kali pemilihan Bupati juga menunjukkan adanya kecenderungan ini.

Praktik ini memang abu-abu, apakah bisa dikategorikan politik uang atau bukan. Uang yang masuk umumnya tidak dibagi langsung ke warga, namun menjadi milik kolektif, entah masuk ke kas RT, atau berwujud pembangunan fisik berupa fasilitas umum. Anggapan yang beredar adalah, inilah bentuk nyata sumbangsih caleg ke warga. Nyata karena memang benar-benar nampak dan dirasakan, bukan janji-janji semata. Barangkali aku terlalu menggeneralisir, namun nyatanya BBC melaporkan kasus serupa juga terjadi di banyak pedesaan. Kawan-kawanku yang tinggal di pedesan juga banyak menceritakan kejadian yang sama.

Undang-undang Republik Indonesia  Nomor 2 Tahun 2011  tentang Partai Politik secara jelas menyebutkan bahwa Partai Politik yang mempunya wakil di parlemen, mempunyai hak menerima dana dari APBN yang diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik  bagi anggota partai dan masyarakat.  Fakta yang nampak aku lihat partai politik hanya muncul menjelang pemilu. Itupun melalui persaingan para calegnya untuk memperoleh suara, bukan mendidik masyarakat untuk sadar dan mengerti politik dan sistem kenegaraan.

Tugas yang terabaikan oleh partai inilah yang selayaknya diisi oleh golput idealis. Ada minimal tiga hal yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah melakukan penyebaran informasi ke masyarakat tentang politik dan sistem kenegaraan kita. Yang kedua adalah mendorong partai politik yang ada untuk bertanggung jawab terhadap tugas mereka untuk melakukan pendidikan politik. Yang ketiga adalah mendorong pembentukan partai politik ideal seperti yang diidamkan.

Dalam bagian ini, aku hanya mengutarakan tugas yang pertama, yaitu penyebaran informasi. Untuk tugas kedua dan ketiga, aku rasa lebih tepat untuk digabungkan dengan tulisanku yang selanjutnya.

Peran golput idealis dalam menyebarkan informasi ke masyarakat dalam era internet ini bukanlah hal muluk dan susah. Tulisan ini pun sudah menjadi bagian dari pelaksanan peran ini. Anda tidak mengajak orang untuk golput, Anda mengajaknya untuk sadar tentang apa akibat dari setiap pilihan yang dia ambil. Obrolan kecil di angkringan, diskusi di serambi masjid, canda sewaktu bermain gaple, semuanya bisa menjadi wahana untuk mempengaruhi kesadaran orang sekitar kita tentang politik.

Sekali lagi aku menggarisbawahi tujuan dari penyebaran informasi adalah untuk membawa masyarakat pada kesadaran tentang akibat dari setiap pilihannya. Jangan pernah menyetir pilihan mereka. Seperti kata bijak, beri kail bukan ikan, beri sabit bukan rumput. Saat mereka telah mampu menentukan pilihannya dengan sadar, saat itulah kita golput idealis tersenyum menikmati “kemenangan putih” ini.

Suara Hati Seorang Semi-Golput

Dua belas jam menjelang pemilu
legislatif, aku sudah memantabkan tekad untuk tidak memilih calon
legislatif tingkat DPR RI dan DPRD Provinsi. Untuk DPRD Kabupaten dan
DPD aku sudah menetapkan pilihan dan akan memberikan suara untuk
kandidat yang aku pilih.

Alasan utamaku untuk tidak memilih
adalah tidak adanya partai yang sepenuhnya mewadahi aspirasi dan
ideologi yang aku percayai. Aspirasi yang kumaksudkan adalah
harapanku akan jalannya negara dalam 5 tahun ke depan, sedangkan
ideologi adalah seperangkat pandangan politik yang aku percayai mampu
membawa pada bentuk kemakmuran ideal. Pada tingkat pusat, aku hanya
mau memilih partai yang mewadahi keduanya: aspirasiku dan ideologiku.
Cukuplah aku sebutkan, bahwa itu adalah pilihan politikku, mengenai
alasannya, lain kali mungkin akan aku tulis terpisah.
Sejatinya ada beberapa partai dengan
pandangan yang hampir bersesuaian dengan aku percaya, namun membawa
agenda yang bertentangan dengan aspirasiku. Ada pula partai dengan
rancangan yang mengagumkanku, namun perilaku mereka di lapangan
sangat bertentangan dengan pandangan politik yang aku percayai.
Kesimpulanku, partai manapun yang menang tidak akan ada bedanya untuk
aku, mereka tidak mewakiliku sepenuhnya.
Himbauan untuk melihat caleg tanpa
melihat partai sempat aku pertimbangkan. Namun pada akhirnya aku
berkesimpulant, caleg tidak mungkin lepas dari pengaruh partai. Jadi
sebaik apapun dia, kalau partainya tidak mewakili aspirasi dan
pandangan politikku, maka tiada beda dia dengan caleg lain.
Kekhawatiran bahwa, apabila tidak
memilih, akan menguntungkan caleg korup, bagiku tidak beralasan.
Lolosnya caleg korup adalah kesalahan pemilihnya, bukan kesalahan
yang tidak memilih. Bila ditarik lebih jauh, majunya caleg korup
adalah karena kegagalan partai politik dalam memilih
kandidat-kandidatnya. Apakah kesalahan ini hendak dilemparkan ke para
golput? Salah tembak rasanya.
Mengenai DPRD Kabupaten dan Provinsi,
tidak terlalu signifikan bagiku untuk bersikukuh pada pandangan
politik. Cukuplah asal aspirasiku terwakili. Produk hukum daerah
adalah derivasi dari produk hukum tingkat nasional. Maka dinamika
ideologi di tingkat daerah bagiku tidak mendesak sebab tergantung
pada apa yang terjadi di tingkat nasional. Cukup dengan hanya melihat
caleg saja, tanpa perlu melihat partai.
Lalu mengapa untuk tingkat Provinsi aku
juga tidak memilih? Terus terang, untuk tingkat Provinsi aku tidak
sempat menelusuri para kandidat.
Prinsipku: kalau tidak tahu, maka diam saja! Melepaskan hak memilih,
adalah tindakan bertanggung jawab bagi yang gagal mencari informasi
politik. Aku tidak mau memilih
ngawur.
Bagiku itu sama sekali tidak bijak.
Untuk
DPD, tidak ada pengaruh partai. Kualitas kandidat saja yang
menentukan. Aku telah punya pilihan yang menurutku bisa mewakili
provinsiku dengan baik.
Apakah
selamanya aku tidak akan memilih? Apakah aku hanya berpangku tangan
menunggu datangnya partai yang sesuai? Apakah aku siap dengan segala
konsekuensi dari “tidak memilih” ini? Itu akan aku tulis pada
bagian selanjutnya:
Politik Ribet Ala Golput, Sebuah
Tanggung Jawab terhadap Demokrasi
Pamungkas
dari tulisan ini, aku berpendapat, d
emokrasi
bukan
sekedar pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Demokrasi dibangun
dari kebebasan. Kebebasan mengemukakan dan melaksanakan sebuah
gagasan. Kebebasan untuk memilih apa yang benar-benar sesuai dengan
keinginan. Dan ketika pilihan yang dirasa tepat itu tidak ada, maka
“tidak memilih” adalah juga bagian dari kebebasan
tersebut.
Sembari merayakan kembalinya
domainku, ariswanto.web.id, yang sudah beberapa minggu off karena
belum diperpanjang kontraknya.